Monday 15 May 2017

Ajining Diri Ono Ing Lathi



Photo source from Google

Mulutmu harimaumu. Sebagian orang ada yang percaya dan ada yang tidak, bahwa kalimat itu benar-benar terjadi. Tuhan memberikan kita satu mulut, dua mata, dan dua telinga, bukan tanpa alasan. Manusia diharapkan untuk dapat melihat dan mendengar lebih baik dari pada berbicara. 
Berbicara adalah sesuatu yang lumrah. Bukan berarti pula, kita tidak boleh berbicara. Hanya, kontrollah bicaramu. Apa yang keluar dari mulutmu, kadang menjadi tangisan bagi orang lain. Apa yang keluar dari mulutmu jugalah yang menunjukkan siapa kamu sebenarnya. 

Ketika seseorang marah, tentu akan mengeluarkan perkataan yang menyakitkan hati. Tapi tentu, orang yang marah itu beralasan. Apakah kamu membuatnya marah? Atau ada hal lain yang membuatnya marah? Apakah mungkin, seseorang marah dengan tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas? Lalu apakah kita harus bersikap 'lumrah' dengan keadaan seperti ini? Ada yang menjawab YA dan ada yang menjawab TIDAK.

Seseorang mengalami suatu kemarahan tentu wajar terjadi. Coba ingat kembali, saat kamu berbuat kesalahan dan dimarahi orang tua. Aku ingat sekali, suatu hari aku dimarahi ayahku karena aku lupa mengerjakan PR keterampilan. Parahnya, aku juga tidak tahu bagaimana cara membuatnya padahal keesokan harinya tugas itu harus dikumpulkan. Aku sangat bingung, karena saat itu kedua orang tuaku sudah terlelap tidur dan adikku masih sangat kecil. Lalu dengan ketakutan aku membangunkan ayahku, dan membujuknya untuk mengantarku pergi ke rumah temanku yang aku yakin dia sudah mengerjakan tugas tersebut. Ayahku hanya terdiam dan mungkin menahan rasa marah dan juga malu karena saat itu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Di tengah jalan, ayahku berkata "Kamu yang ngetuk pintunya sendiri dan minta maaf sendiri kenapa bertamu jam segini". Sontak akupun takut menghadapi apa yang akan terjadi di balik pintu nanti. Akhirnya kuberanikan diri mengetuk pintu dan menunggu sampai pintu itu di buka. Seseorang berdiri di sana dengan mata yang merah dan ekspresi kaget. Ayahku di belakangku hanya diam. Seseorang itu adalah ayah temanku, beliau mempersilakan kami masuk dan mendengarkan dengan baik alasanku datang malam-malam ke rumahnya. Temanku sudah tidur. 

Singkat cerita, kami pulang ke rumah dengan berbekal ilmu seadanya dari penjelasan ayah temanku mengenai tugas keterampilan itu. Tentu saja ilmu seadanya karena yang membuat tugas tersebut adalah temanku dibantu ibunya. Ayahnya tak tau apa-apa. Kemudian sesampainya di rumah, ayahku sudah tidak emosi lagi. Beliau hanya berkata "lain kali kalau seperti ini lagi papa nggak mau anter. Jangan suka ngrepotin orang lain. Untung aja ayahnya temenmu baik mau direpotin". Saat itu juga, aku tersadar bahwa apa yang aku lakukan sudah merepotkan orang banyak. Aku cukup malu untuk mengulanginya kembali. Kemarahan ayahku yang sebatas diam dan menasehati saja sudah membuatku jera.

Kemarahan tidak harus diungkapkan dengan kata-kata kasar. Cukup dengan membalikkan keadaan dan membuat orang lain belajar dari kesalahannya. Kata-kata kasar hanya membuatmu tampak lebih buruk. Beda, dengan orang yang sudah jengkel. Jengkel itu luapan dari rasa marah yang berkelanjutan. Mungkin seseorang yang membuat kesalahan tidak menyadari kesalahan yang dibuatnya atau bisa jadi acuh tak acuh dengan apa yang telah diperbuatnya. Respon yang diberikan juga akan berbeda. Wajar, kamu membentak kalau itu adalah kesalahan yang terus menerus terjadi.

Namun parahnya, seseorang bisa berkata buruk bukan hanya karena keadaannya yang sedang emosi. Tapi hanya dari opininya sendiri yang tidak sesuai dengan fakta. Pernah suatu waktu, aku mengalami sebuah musibah. Ban motorku bocor di jalan dan aku sedang sendirian. Lokasi tersebut masih sangat jauh dari rumah dan membuatku harus mendorong motor sampai cukup jauh karena tidak menemukan tukang tambal ban. Setelah sampai di tukang tambal ban, aku harus mengantri satu motor lagi. Aku sudah menghubungi orang di rumah karena kejadian ini, dan mereka memahami. Ketika hampir sampai di rumah, aku bertemu dengan seorang tetangga yang berpikiran buruk karena aku baru saja pulang jam sebelas malam. Beliau bercerita pada tetangga yang lain bahwa aku selalu pulang malam, padahal aku pulang malam hanya hari itu saja. Yah, begitulah mulut orang yang tidak pernah dikontrol. Berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Ada baiknya kalau kalian menemukan kejanggalan, ditanya baik-baik, "Lho Mbak Puput kenapa kok sampe malem?" kemudian aku  menjelaskan kenapa dan beliau tau apa alasannya. Selesai kan? Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang tidak hanya aku saja yang mengalami, mungkin kalian juga pernah.

Membuat opini sendiri itu tidak baik, tanpa didukung dengan data dan fakta. Sebaiknya kalau tidak tau banyak, perluaslah wawasan kalian dengan mata dan telinga kalian. Apa yang kalian lihat, memang belum tentu benar, maka bertanya dan dengarkanlah apa yang disampaikan orang lain karena kalian tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketahuilah, apa yang keluar dari mulutmu kadang akan selalu terngiang dan membekas di hati dan perasaan orang lain. Maka, perbaikilah bicaramu sebelum mereka merendahkanmu.


  16/05/2017
Anastasia P.V
Share:

0 comments:

Post a Comment