Photo credit by: Kristian Yosar at Punthuk Setumbu, Magelang, Jawa Tengah
Suatu hari ada seorang lelaki tua sedang mengayuh sepeda tuanya di antara perkampungan yang tidak begitu ramai. Aku melihat di belakang sepedanya, terdapat tumpukan buku dan koran yang hendak ia jual. "Mau kemana, Pak?" tanyaku. Lalu dengan sedikit mengernyit, bapak itu memandang dan kemudian melemparkan senyuman. "Mau jual kertas, Mbak" katanya.
Langkahkupun terhenti dan menatap sang bapak yang sudah renta itu. Beliau juga menghentikan kayuhan sepedanya. Lalu sang bapak bertanya "Mbak'e mau kemana? Biar saya antar." Kujawab "Saya mau jalan-jalan saja, Pak. Bapak mau saya anter?" Jawabnya "Ndak usah Mbak, saya hanya ke dekat sini". Aku memaksa. Aku ingin tahu lebih banyak tentang sang bapak. Si bapakpun memperbolehkanku mengikutinya dan dengan senang hati aku mengantarkannya.
Saat itu, hari sudah sore dan hampir menuju gelap. Aku melihat bahwa si bapak sudah mulai lelah. Ia kemudian mengambil seluruh buku, kertas, dan koran yang ada di boncengan sepedanya. Sepertinya si bapak sudah mengenal lawan bicaranya.
"Semuanya 12 ribu, Pak" kata si pengepul.
Lalu bapak menjawab, "Alhamdullilah" sambil mendongak ke atas.
Kami berjalan menuju rumah si bapak. Sesampainya di sana, aku bertanya siapa namanya. Ia menjawab "Imam". Pak Imam yang telah mengajarkanku arti hidup sebenarnya.
Rumahnya sederhana. Bukan dari kayu atau bambu, tapi dari batu bata yang tersusun rapi. Namun, di dalamnya hanya terdapat beberapa pasang kursi, dan sebuah kasur tua yang usang. Di belakang rumahnya terdapat satu buah kompor gas yang masih terlihat baru dan beberapa rantang, namun hanya ada satu gelas dan satu piring.
Rumahnya sederhana. Bukan dari kayu atau bambu, tapi dari batu bata yang tersusun rapi. Namun, di dalamnya hanya terdapat beberapa pasang kursi, dan sebuah kasur tua yang usang. Di belakang rumahnya terdapat satu buah kompor gas yang masih terlihat baru dan beberapa rantang, namun hanya ada satu gelas dan satu piring.
"Pak Imam di rumah sendiri?" tanyaku
"Iya Mbak, istri saya sudah meninggal sejak 3 tahun lalu. Sakit keras"
"Wah, sakit apa Pak?"
"Batuk berdarah, Mbak. Kata Pak Mantri harus dibawa ke Rumah Sakit besar, waktu sudah sampai di sana malah tidak tertolong"
"Yang sabar ya Pak, lalu anak Bapak?"
"Anakku sudah menikah, Mbak. Dia tinggal di Jakarta ikut suami dan mertuanya. Malu ikut saya di sini."
"Lhoo, jangan bicara seperti itu Pak, mungkin saja anak Bapak lagi cari rejeki buat Bapak"
"Yah, semoga saja begitu ya Mbak. Anak saya nggak ada kabar setelah menikah. Padahal dia satu-satunya harta saya. Semua sawah dan ladang saya jual untuk membiayai pendidikannya sampai lulus sarjana. tapi begitu dipinang lelaki kaya, dia seolah lupa dengan saya"
DEG!!!
Aku lalu memperhatikan sorot matanya dan merasakan kesedihan yang mendalam. Betapa rapuhnya bapak ini. Ia kemudian melanjutkan "Saya ndak menyalahkan anak saya Mbak, dia pergi bukan karena tidak sayang dengan bapak ibunya. Tapi karena dia sangat sayang dengan kami. Banyak lelaki ingin menikahinya karena parasnya yang cantik dan sangat berwibawa. Dia anak yang pandai dan sangat cerdas. Tapi karena suatu hal, dia meninggalkan kami"
Aku tidak mau bertanya lagi, namun beliau tetap melanjutkannya "Saya orang tua yang gagal, Mbak. Saya tidak bisa melindungi anak saya dari omongan jahat warga sekitar. Mereka benci karena anak saya bisa sekolah tinggi dan bisa menjadi wanita yang cerdas". Pak Imam kemudian mengusap air matanya, dan melanjutkan kembali "Iya, Mbak. Banyak orang yang bilang dia itu bukan anak kandung saya. Padahal dia benar-benar anak saya, darah daging saya. Memang mulut orang-orang ini tidak pernah bisa dijaga. Hingga anak saya mencari orang tua kandungnya yang sebenarnya saya. Saya ini bapaknya, Mbak"
"Begitu kerasnya hidup, hingga fitnah bisa merenggut kebahagiaan kami"
Sedih. Aku sangat sedih mendengar cerita Pak Imam. Ia hidup sebatang kara dan tak punya apa-apa. Ia makan seadanya dan tidak banyak membeli apa-apa. Ia hanya sebatas mempertahankan hidup dan berusaha untuk kuat dan tidak mengingat semuanya. Kekacauan yang diakibatkan karena ke-iri-hati-an, telah menghancurkan mimpi dan harapannya. Banyak orang mencibir dan mengolok-olok hidupnya. Hingga ia memutuskan untuk menjual rumahnya dan pindah ke pelosok desa.
Dulu ia orang yang mampu dalam material. Dia adalah lelaki yang cerdas dan banyak akal untuk menghasilkan uang. Namun semua itu sudah tak berguna saat semuanya tiada. Pertama, saat anaknya pergi dan kedua setelah istrinya meninggal. Untuk apa hartanya? Untuk apa kekayaannya? Ia tidak memikirkan lagi hidupnya, karena baginya semua terasa sia-sia.
Bersyukur adalah hal yang selalu ia lakukan. Karena apa lagi yang bisa dilakukan?
"Hidup hanyalah awal dari kehidupan abadi"