Suatu hari aku pernah bertanya kepada ayahku, tentang suatu hal yang jarang sekali aku lihat. Sebelum mulai bertanya, aku memperhatikan dengan jeli. Mungkinkah aku salah melihat, ataukah memang benar ada sesuatu yang janggal? Saat itu usiaku belum genap 7 tahun. Sembari memperhatikan sosok itu, aku hanyut dalam pikiran-pikiran aneh yang entah muncul dari mana. Hingga akhirnya sosok itu berlalu.
Aku menggoyang-goyangkan jemari ayahku, seakan ingin memberitahu sesuatu kepadanya. Namun koyakan tanganku digenggamnya dan mengajakku berlalu. Dalam bising suara kendaraan, aku bertanya "Ayah, kenapa orang itu tidak berjalan dengan kaki?" ayahku menjawab, "ya, tidak semua orang seperti kita, mereka punya karunia yang berbeda-beda". Aku tak lantas puas dengan jawaban itu. Aku kembali bertanya, "Ayah, lalu bagaimana jika ia harus berlari saat teman-temannya berlari?". Ayahku terdiam. Ia menjawab sekenanya, "Hidup bukanlah hanya tentang berjalan atau berlari. Kelak kamu akan tau jawabannya. Pesanku, hargailah saja. Itupun juga anugrah, bukan hanya kita yang bisa berjalan dan berlari sepuasnya. Oh ya, ingatlah nak. Jangan bertanya apapun tentang lukanya, jika ia tidak memperkenankanmu mengetahuinya. Diamlah jangan menambah lukanya". Aku tercengang. Bukan karena takjub, tapi karena aku tidak mengerti.
Sampai saat ini, aku teringat dengan percakapan itu. Sedikit demi sedikit semua sudah terjawab. Benar kata ayahku, kekurangan itu merupakan suatu anugrah. Jika seseorang terlahir dengan segala kelebihannya, maka ia juga memiliki kekurangan, baik yang nampak maupun yang tidak. Lantas, apa yang menjadi perdebatan? Hatimu.
Masih terlintas dibenakku, seseorang yang mengucilkan orang lain, hanya karena orang itu tidak sempurna. Coba ingatlah kembali, berapa orang yang dengan tega mencemooh seseorang yang gemuk, terlalu gemuk, kurus, atau bahkan sangat kurus? Berapa banyak teman dalam satu kelas yang mau bergaul dengan teman yang memiliki kekurangan fisik? Berapa banyak teman yang mau bergaul dengan teman yang tidak pandai di kelas?
Ingatlah kembali, apa reaksi teman yang kamu cemooh itu. Ingat kembali, raut wajahnya saat kamu mengatakan hal yang keji padanya. Bayangkan, jika dia itu kamu.
Sudah dewasa, selaknya kita harus saling menghormati. Semua manusia tidaklah sempurna. Miris, jika masih ada orang dewasa yang mengolok-olok kekurangan orang lain. Kamu tidak menghargai karya-Nya. Semua diciptakan dengan maksud dan tujuan.
Pernahkah sedikit terlintas di pikiranmu? Ada beberapa hal besar yang mereka miliki, tetapi tidak ada pada dirimu? Dan saat itulah kamu merasa iri dengan apa yang ia miliki? Sudah. Renungkan saja. Kesempurnaan kita mungkin bukan kebahagiaan orang lain. Namun, sudah sewajarnya dalam ketidaksempurnaan kita wajib menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain.
Mereka tidak memilih untuk lahir dengan keadaan demikian. Mereka juga sudah berusaha menyingkirkan rasa iri hati terhadap kalian. Sudah semestinya kita semua menjaga, menghormati dan mulai mengerti bahwa hidup bukan tentang kesempurnaan. Setengah mati aku mencoba menahan rasa haru dan bangga. Bangga terhadap mereka yang tidak sempurna. Mereka mengajarkanku banyak hal. Salah satunya bertahan hidup dan tetap percaya diri. \
Ajarkanlah pada anak-anakmu kelak, tentang kesempurnaan yang sejati
Photo: Source of Google