Wednesday 2 October 2019

TERMINAL

Hari Selasa, 18 Juni 2019 pukul 17.00 aku berada di sebuah terminal di kota Yogyakarta. Seperti biasanya aku ditemani Yosar, akan segera pergi ke ibu kota Provinsi Jawa Timur untuk suatu hal.
Tidak ada yang aneh di tempat ini. Semua orang berlalu lalang dengan membawa berbagai beban di pundak, di tangan, dan di punggung. Semua aktivitas tampak normal dan biasa-biasa saja. Akupun menikmati hari itu sambil ngobrol ngalor-ngidul dengan Yosar.

Kita sampai di dalam bus yang masih nampak belum penuh, dan kemudian memilih tempat duduk yang pas dan nyaman. "Jangan terlalu belakang ah, deket WC, bau!" kataku. Yosar tersenyum dan menunjuk satu pasang kursi yang masih kosong. "Di sini aja ya..." lalu akupun memilih tempat duduk di pojok dekat dengan jendela. Yosar menyusulku dan dia membantuku menyusun tas-tas dan segala keperluan yang kami bawa. Kami menyiapkan cemilan yang mungkin saja kami butuhkan selama di perjalanan nanti, dan tidak lupa kami berdoa bersama sebelum bus mulai menginjak gas meninggalkan kota Yogyakarta. 

Rupanya, kita harus menunggu agak lama karena bus masih belum penuh. Yosar memainkan ponsel-nya dan akupun memandang ke arah luar bus. Mataku memandang dari sudut ke sudut terminal itu. Hari sudah hampir gelap, namun masih banyak orang berlalu-lalang dengan raut muka yang beraneka ragam. Ada yang sedang beradu argumen dan tampak kesal, karena mungkin ketinggalan bus. Ada yang tampak sedang kebingungan mencari-cari bus, dan ada pula yang masih diam terpaku dengan ponselnya entah hendak menghubungi siapa. Aku juga melihat satu keluarga yang hendak mengantarkan anaknya pergi (entah kemana), mereka mendekap erat si anak, dan mencium kedua pipinya sambil menepuk punggungnya sembari mengucapkan nasihat-nasihat. Aku tertegun. Dalam hati berkata "sibuknya tempat ini".

Tak berapa lama, pandanganku teralihkan dengan seseorang yang sedang duduk di depan sebuah shelter bus. Nampaknya ia baru saja sampai di kota Yogyakarta. Ia sedang menggunakan ponsel-nya dengan serius dan menekan tombol-tombol ponsel itu dengan sekuat tenaga dan memindahkan ke telinganya. Dia sedang mencoba menghubungi seseorang. Namun tak lama, dia menekan kembali tombol itu dan berusaha menghubungi kembali. Kuperhatikan setiap geraknya dan baru tersadar bahwa orang itu menitikkan air mata yang kemudian ia seka dengan lengan bajunya. Pandanganku menajam, seolah ingin tahu apa yang terjadi kepadanya, ya sekalipun aku tidak mengenalnya. Saat itu aku melihat bahwa dia menahan tangis, entah tangis itu untuk siapa. Tak lama ia bergegas pergi dan menghilang dari pandanganku dengan terus menekan tombol di ponselnya.

Aku menghembuskan nafas, dan kembali memandang sekitar, kali ini aku memandang sekeliling orang yang berada di dalam bus sambil memeriksa apakah sudah terisi penuh atau belum. Yosar masih disibukkan dengan ponselnya. Kemudian aku berusaha untuk memejamkan mata, padahal aku tidak merasa ngantuk. Hanya ingin memejam saja. Tak berapa lama aku mendengar seseorang di belakangku sedang menelpon. Dari gaya bicaranya, nampak bahwa ia sedang menelpon suaminya. Ia memberi kabar bahwa ia sudah akan berangkat. Aku merasa sedikit terganggu, karena si ibu menelpon dengan suara yang keras, bahkan sampai suara orang di seberang telponnya juga terdengar olehku. Aku mengernyitkan dahi dan menyenggol tangan Yosar, tanda aku tak nyaman dengan keadaan itu. Yosar memandangku dan menunjukkan isyarat dari tangannya supaya aku tetap tenang dan menghormati si ibu itu yang akan bertemu dengan keluarganya. Dalam percakapannya di telpon tersebut, si ibu nampak begitu senang karena akan bertemu dengan orang yang ia cintai. Ia begitu bersemangat menceritakan apa saja yang sudah ia siapkan untuk suami dan anak-anaknya. Di akhir percakapan itu, ia berkata "Yah, nanti jangan lupa ya jemput ibu jam 01.00 pagi di Terminal Bungurasih. Ayah tunggu di pinggir jalan aja ya, nanti kalo masuk ayah bingung nyari ibu dimana."

Dari percakapan dan semua hal yang baru saja ku alami, aku menyadari satu hal, bahwa terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan, adalah sebuah tempat yang menyimpan berbagai perasaan. Perasaan ditinggalkan, meninggalkan, dan bertemu kembali. Sebuah tempat di mana kita akan meninggalkan seseorang yang kita cintai, sekaligus tempat di mana kita akan bertemu kembali. Ketika kita meninggalkan seseorang di terminal/ stasiun/ bandara/ pelabuhan untuk waktu yang lama, kita tidak pernah tahu bagaimana perasaan orang yang kita tinggalkan itu. Tetapi aku yakin, di tempat itulah kalian akan bertemu kembali. Melepas segala kerinduan, kekesalan, kekecewaan, maupun kebahagiaan bukanlah hal yang mudah. Namun di tempat ini aku melihat bahwa semua perasaan bisa tertuang. 


-APV-

Share:

Friday 12 October 2018

KESEMPURNAAN

Suatu hari aku pernah bertanya kepada ayahku, tentang suatu hal yang jarang sekali aku lihat. Sebelum mulai bertanya, aku memperhatikan dengan jeli. Mungkinkah aku salah melihat, ataukah memang benar ada sesuatu yang janggal? Saat itu usiaku belum genap 7 tahun. Sembari memperhatikan sosok itu, aku hanyut dalam pikiran-pikiran aneh yang entah muncul dari mana. Hingga akhirnya sosok itu berlalu.

Aku menggoyang-goyangkan jemari ayahku, seakan ingin memberitahu sesuatu kepadanya. Namun koyakan tanganku digenggamnya dan mengajakku berlalu. Dalam bising suara kendaraan, aku bertanya "Ayah, kenapa orang itu tidak berjalan dengan kaki?" ayahku menjawab, "ya, tidak semua orang seperti kita, mereka punya karunia yang berbeda-beda". Aku tak lantas puas dengan jawaban itu. Aku kembali bertanya, "Ayah, lalu bagaimana jika ia harus berlari saat teman-temannya berlari?". Ayahku terdiam. Ia menjawab sekenanya, "Hidup bukanlah hanya tentang berjalan atau berlari. Kelak kamu akan tau jawabannya. Pesanku, hargailah saja. Itupun juga anugrah, bukan hanya kita yang bisa berjalan dan berlari sepuasnya. Oh ya, ingatlah nak. Jangan bertanya apapun tentang lukanya, jika ia tidak memperkenankanmu mengetahuinya. Diamlah jangan menambah lukanya". Aku tercengang. Bukan karena takjub, tapi karena aku tidak mengerti. 

Sampai saat ini, aku teringat dengan percakapan itu. Sedikit demi sedikit semua sudah terjawab. Benar kata ayahku, kekurangan itu merupakan suatu anugrah. Jika seseorang terlahir dengan segala kelebihannya, maka ia juga memiliki kekurangan, baik yang nampak maupun yang tidak. Lantas, apa yang menjadi perdebatan? Hatimu.

Masih terlintas dibenakku, seseorang yang mengucilkan orang lain, hanya karena orang itu tidak sempurna. Coba ingatlah kembali, berapa orang yang dengan tega mencemooh seseorang yang gemuk, terlalu gemuk, kurus, atau bahkan sangat kurus? Berapa banyak teman dalam satu kelas yang mau bergaul dengan teman yang memiliki kekurangan fisik? Berapa banyak teman yang mau bergaul dengan teman yang tidak pandai di kelas? 

Ingatlah kembali, apa reaksi teman yang kamu cemooh itu. Ingat kembali, raut wajahnya saat kamu mengatakan hal yang keji padanya. Bayangkan, jika dia itu kamu.


Sudah dewasa, selaknya kita harus saling menghormati. Semua manusia tidaklah sempurna. Miris, jika masih ada orang dewasa yang mengolok-olok kekurangan orang lain. Kamu tidak menghargai karya-Nya. Semua diciptakan dengan maksud dan tujuan. 

Pernahkah sedikit terlintas di pikiranmu? Ada beberapa hal besar yang mereka miliki, tetapi tidak ada pada dirimu? Dan saat itulah kamu merasa iri dengan apa yang ia miliki? Sudah. Renungkan saja. Kesempurnaan kita mungkin bukan kebahagiaan orang lain. Namun, sudah sewajarnya dalam ketidaksempurnaan kita wajib menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain. 

Mereka tidak memilih untuk lahir dengan keadaan demikian. Mereka juga sudah berusaha menyingkirkan rasa iri hati terhadap kalian. Sudah semestinya kita semua menjaga, menghormati dan mulai mengerti bahwa hidup bukan tentang kesempurnaan. Setengah mati aku mencoba menahan rasa haru dan bangga. Bangga terhadap mereka yang tidak sempurna. Mereka mengajarkanku banyak hal. Salah satunya bertahan hidup dan tetap percaya diri. \

Ajarkanlah pada anak-anakmu kelak, tentang kesempurnaan yang sejati


Photo: Source of Google

Image result for difabel
Share:

Friday 23 March 2018

Cerita Perempuan yang Bertemu Lelakinya #Part1

Jatuh cinta memang berjuta rasanya. Nggak ada yang tahu kita akan jatuh cinta pada siapa, kapan, dan di mana. Perasaan itu muncul sendirinya, seolah mengalir dan begitu saja tanpa ada paksaan dan begitu indah. Jatuh cinta itu indah, dan akan lebih indah jika kamu jatuh cinta pada orang yang tepat.

Guys, ini cerita cintaku di mana aku bertemu dengan Kristian Yosar Prihatworo yang dengan sukses dan berhasil telah membuatku jatuh cinta lagi dan jatuh cinta setiap hari padanya. Saat aku menulis ini, dia sedang berada di hadapanku dan juga sedang sibuk dengan dunianya. Sesekali aku memperhatikan wajahnya dan tersenyum. Aku menyadari bahwa dialah rumah bagiku, di mana aku akan selalu kembali dan menyampaikan segala keluh kesahku baik di saat sedih maupun senang.


PERTEMUAN


Sejak aku memutuskan kuliah di Jogjakarta, terbelesit niat di dalam benakku untuk tidak menjalin hubungan dahulu. Aku ingin fokus dengan studiku dan segera lulus agar tidak membebani kedua orangtuaku. Awal masuk kuliah, memang tujuanku adalah mencari ilmu dan mencari teman sebanyak-banyaknya. Di Universitas tempat aku berkuliah, memang mengadakan banyak sekali acara inisiasi. dimulai dari inisiasi tingkat universitas, tingkat fakultas, tingkat jurusan, hingga tingkat prodi. Dari adanya acara ini tentu ada senang dan sedihnya.Senangnya, tentu kita  bisa berkenalan dengan banyak teman dan menjalin relasi yang baik dengan mereka. Sedihnya, capek. Banget. Harus latihan ini lah itu lah, iuran ini lah itu lah... hahaha ya namanya juga mahasiswa.

Berkat adanya inisiasi inilah, aku mengenal banyak teman, tidak hanya teman satu prodiku tapi dari berbagai prodi dan fakultas. Beberapa ada yang cocok, beberapa ada yang tidak sama sekali. Sebenernya bukan mau pilih-pilih temen, tapi aku tau mana temen yang memang cocok dengan kepribadianku dan mana yang enggak. Cenderungnya aku adalah sosok yang pendiem, jadi jarang banget ngajak orang ngobrol duluan. Kalo sama temen yang nyambung ya keluar aslinya, kalo sama yang engga ya munculnya sikap cuek dan jaimku hehehehee..

Back to the topic, pertemuan aku dengan Yosa adalah di dalam kelas. Ya, kami satu jurusan dan bahkan satu kelas. Pertama kali liat Yosa, dia tuh aneh hahahaha.. Rambutnya gondrong dan pake bando gitu deh (Yaampun aku masih inget banget sampe sekarang). Dari cara bicara dan rupanya, aku dah bisa tau kalo dia orang asli Jogja dengan segala keramahannya. Dan aku sama sekali biasa aja saat itu. Next, acara inisiasi Jurusan, muncul nama di papan pengumuman yang berisi pembagian kelompok. Akuu cari di mana namaku, aku menyusur dari kelompok pertama hingga berhenti di kelompok Bagendit. Wow namaku di sini. Apa selanjutnya? Selanjutnya aku nyari nama temen-temen yang sekelas sama aku. Wah!! Banyak banget nih, tapi jujur aku belum begitu akrab dengan mereka. Sampai akhirnya aku menemukan nama Kristian Yosar P. dan itu satu-satunya teman yang sudah aku kenal, karena beberapa kali pernah ngobrol dan foto bareng.
sama sekali aku ngga nyamperin dia, tapi aku ngerasa lega karena aku punya temen untuk tanya-tanya hehehehe.. Misalnya ada hal-hal yang perlu aku tanyain, aku bisa tanya ke dia. 

Waktu itu, kami masih biasa aja, yang aku lihat emang dia laki-laki yang baik, sopan, dan hmmmm perhatian banget. Mungkin banyak kali cewe yang baper sama dia. Tapi aku sama sekali engga hahaha.. Ya karena aku tau sih emang dia punya sifat yang seperti itu. Perhatiannya itu lhoo... Banyak deh cewe yang klepek-klepek pasti. Dan yah, bener banget aku sering chat dan sms an sama dia. Tapi bukan sms yang PDKT gitu yah. Lebih ke nanyain tentang hal-hal yang masih aku ngga ngerti di dalam kelompok dan nanya jadwal latihan aja karena kita ada latihan buat pensi di akhir acara nanti. Dari sini, aku semakin kenal sama doi dan tau lah ya doi orangnya gimana hehehehehhe.....

Selanjutnya di acara inisiasi prodi. Singkat cerita, kami sekelompok lagi. Aku ya santai banget (tapi seneng juga) soalnya udah pernah sekelompok sama dia sebelumnya. Nah kebetulan pas selesai lihat pengumuman di depan sekretariat, aku ketemu sama Yosa. Langsung deh aku bilang "Hey Yoss.. Kita sekelompok lagi lho Insipro" yaak dan aku lupa waktu itu dia jawab apa..... skip skip skip, ngga ada yang terjadi di insipro ya antara aku sama Yosa. Aku cuma kagum gitu sama fisiknya yang ngga pernah kenal capek dan tetep perhatian ke sesama teman kelompok.

To be continued on my next post hehehe

Share:

Friday 18 August 2017

SELECTA


photo by: Kristian Yosar
In Frame (left to the right): Agri, Jeanette, Puput, Karun, dan Monic Emy

Heloo guys! it is very late post yah sekitaran bulan Juni kemarin kami seangkatan mengadakan fieldtrip ke daerah Batu-Malang, Jawa Timur. Wonderful city. I'm falling in love with this place. Take me back to the day, when I feet like there's nothing to worry. Need more holiday :(((
Share:

Wednesday 31 May 2017

Life is Just A Begining



Photo credit by: Kristian Yosar at Punthuk Setumbu, Magelang, Jawa Tengah

Suatu hari ada seorang lelaki tua sedang mengayuh sepeda tuanya di antara perkampungan yang tidak begitu ramai. Aku melihat di belakang sepedanya, terdapat tumpukan buku dan koran yang hendak ia jual. "Mau kemana, Pak?" tanyaku. Lalu dengan sedikit mengernyit, bapak itu memandang dan kemudian melemparkan senyuman. "Mau jual kertas, Mbak" katanya. 

Langkahkupun terhenti dan menatap sang bapak yang sudah renta itu. Beliau juga menghentikan kayuhan sepedanya. Lalu sang bapak bertanya "Mbak'e mau kemana? Biar saya antar." Kujawab "Saya mau jalan-jalan saja, Pak. Bapak mau saya anter?" Jawabnya "Ndak usah Mbak, saya hanya ke dekat sini". Aku memaksa. Aku ingin tahu lebih banyak tentang sang bapak. Si bapakpun memperbolehkanku mengikutinya dan dengan senang hati aku mengantarkannya.

Saat itu, hari sudah sore dan hampir menuju gelap. Aku melihat bahwa si bapak sudah mulai lelah. Ia kemudian mengambil seluruh buku, kertas, dan koran yang ada di boncengan sepedanya. Sepertinya si bapak sudah mengenal lawan bicaranya. 

"Semuanya 12 ribu, Pak" kata si pengepul. 
Lalu bapak menjawab, "Alhamdullilah" sambil mendongak ke atas. 

Kami berjalan menuju rumah si bapak. Sesampainya di sana, aku bertanya siapa namanya. Ia menjawab "Imam". Pak Imam yang telah mengajarkanku arti hidup sebenarnya.
Rumahnya sederhana. Bukan dari kayu atau bambu, tapi dari batu bata yang tersusun rapi. Namun, di dalamnya hanya terdapat beberapa pasang kursi, dan sebuah kasur tua yang usang. Di belakang rumahnya terdapat satu buah kompor gas yang masih terlihat baru dan beberapa rantang, namun hanya ada satu gelas dan satu piring.

"Pak Imam di rumah sendiri?" tanyaku
"Iya Mbak, istri saya sudah meninggal sejak 3 tahun lalu. Sakit keras"
"Wah, sakit apa Pak?"
"Batuk berdarah, Mbak. Kata Pak Mantri harus dibawa ke Rumah Sakit besar, waktu sudah sampai di sana malah tidak tertolong"
"Yang sabar ya Pak, lalu anak Bapak?"
"Anakku sudah menikah, Mbak. Dia tinggal di Jakarta ikut suami dan mertuanya. Malu ikut saya di sini."
"Lhoo, jangan bicara seperti itu Pak, mungkin saja anak Bapak lagi cari rejeki buat Bapak"
"Yah, semoga saja begitu ya Mbak. Anak saya nggak ada kabar setelah menikah. Padahal dia satu-satunya harta saya. Semua sawah dan ladang saya jual untuk membiayai pendidikannya sampai lulus sarjana. tapi begitu dipinang lelaki kaya, dia seolah lupa dengan saya"

DEG!!!

Aku lalu memperhatikan sorot matanya dan merasakan kesedihan yang mendalam. Betapa rapuhnya bapak ini. Ia kemudian melanjutkan "Saya ndak menyalahkan anak saya Mbak, dia pergi bukan karena tidak sayang dengan bapak ibunya. Tapi karena dia sangat sayang dengan kami. Banyak lelaki ingin menikahinya karena parasnya yang cantik dan sangat berwibawa. Dia anak yang pandai dan sangat cerdas. Tapi karena suatu hal, dia meninggalkan kami"

Aku tidak mau bertanya lagi, namun beliau tetap melanjutkannya "Saya orang tua yang gagal, Mbak. Saya tidak bisa melindungi anak saya dari omongan jahat warga sekitar. Mereka benci karena anak saya bisa sekolah tinggi dan bisa menjadi wanita yang cerdas". Pak Imam kemudian mengusap air matanya, dan melanjutkan kembali "Iya, Mbak. Banyak orang yang bilang dia itu bukan anak kandung saya. Padahal dia benar-benar anak saya, darah daging saya. Memang mulut orang-orang ini tidak pernah bisa dijaga. Hingga anak saya mencari orang tua kandungnya yang sebenarnya saya. Saya ini bapaknya, Mbak"

"Begitu kerasnya hidup, hingga fitnah bisa merenggut kebahagiaan kami"

Sedih. Aku sangat sedih mendengar cerita Pak Imam. Ia hidup sebatang kara dan tak punya apa-apa. Ia makan seadanya dan tidak banyak membeli apa-apa. Ia hanya sebatas mempertahankan hidup dan berusaha untuk kuat dan tidak mengingat semuanya. Kekacauan yang diakibatkan karena ke-iri-hati-an, telah menghancurkan mimpi dan harapannya. Banyak orang mencibir dan mengolok-olok hidupnya. Hingga ia memutuskan untuk menjual rumahnya dan pindah ke pelosok desa.

Dulu ia orang yang mampu dalam material. Dia adalah lelaki yang cerdas dan banyak akal untuk menghasilkan uang. Namun semua itu sudah tak berguna saat semuanya tiada. Pertama, saat anaknya pergi dan kedua setelah istrinya meninggal. Untuk apa hartanya? Untuk apa kekayaannya? Ia tidak memikirkan lagi hidupnya, karena baginya semua terasa sia-sia.
Bersyukur adalah hal yang selalu ia lakukan. Karena apa lagi yang bisa dilakukan?
"Hidup hanyalah awal dari kehidupan abadi"

Share: